(BAHASA) PERJUANGAN BIKIN KOMUNITAS STAND UP COMEDY
- Reggy Hasibuan
- Nov 1, 2016
- 10 min read

Stand Up Comedy pertama kali meledak di Indonesia pada tahun akhir tahun 2011, ketika video Stand Up Night Jakarta yang diprakarsai oleh comic-comic yang ikut audisi lomba Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV meledak menjadi viral di dunia media sosial. Semenjak itu banyak bermunculan komunitas-komunitas Stand Up Comedy di seluruh penjuru Indonesia mengikuti trend ini, dari Banda Aceh hingga Kupang.
Salah satu Komunitas Stand Up yang paling awal berdiri adalah komunitas Stand Up Comedy Samarinda yang diprakarsai Setiawan Yogi. Sebagai salah satu komika yang ada dari awal perkembangan Stand Up Comedy di Indonesia, saya sangat kagum dan juga iri dengan Komunitas Stand Up Samarinda. Kalau sampai Samarinda saja bisa dengan mudah dan cepat berdiri suatu komunitas Stand Up, kenapa di kota kelahiran saya di Malang tidak?
1. PERJUANGAN NYARI CAFE
Saya saat itu masih kerja kantoran di Jakarta, akhirnya saya kontek-kontekan sama temen-temen di Malang dan kita berusaha untuk memulai membuat komunitas Stand Up sendiri yang dimulai dengan membuat Open Mic perdana. Setelah diatur dengan komunikasi jarak jauh, kita setuju bahwa Open Mic perdana akan dibuat pada tanggal 8 Agustus 2011 di sebuah cafe yang lumayan happening di Malang waktu itu.
Temen-temen di Malang geraknya lumayan cepet, dari hasil publikasi lumayan banyak yang tertarik buat naik dan malam itu cafenya penuh. Bikin Open Mic perdana memang bukan tanpa halangan, malam itu yang naik sebagian besar tidak pernah tahu tentang Stand Up Comedy sebelumnya, dan sebagian latar belakangnya adalah Public Speaking dan English Debate, alhasil banyak yang ngebom, termasuk MC-nya pada malam itu. Untungnya ada satu dua yang lumayan pecah dan orang-orang itu langsung diplotting buat jadi anggota inti dan pionir Komunitas.
Lebih apesnya lagi pas tanggal segitu ternyata ada pertandingan Manchester City lawan Manchester United pas dimana Manchester United kebobolan 6 - 1, dan cafenya malam itu ga mau matiin TV, jadinya kita harus Open Mic di tengah-tengah pertandingan bola. Ternyata juga cafenya penuh bukan hanya gara-gara Open Mic perdana kita, tapi juga gara-gara orang mau nonton bola. Yang paling apes adalah salah satu yang nyobain Open Mic pada malam itu, namanya Fito, dia anak SMA dan pas dia naik Manchester United kebobolan 3 kali. Padahal dia pecah sih, tapi keganggu banget sama hackling-an orang-orang yang pada teriak "GOOOOOOAL!!".
Tantangan terakhir di Open Mic perdana itu adalah, kita belum bisa kontrol waktu. Saking banyaknya yang naik, akhirnya Open Mic jadi kelamaan dan satu demi satu penonton pulang. Pada waktu akhirnya saya naik jadi headliner, penonton tinggal sisa beberapa. Jadi malam itu masalahnya lumayan banyak, udah banyak yang ngebom, molor selesainya, udah gitu pas sama pertandingan bola lagi. Saya sempet pesimis bahwa ini gak bakal bisa jadi permulaan yang bagus buat memulai komunitas.
Untungnya adalah ternyata ekspektasi saya terlalu tinggi. Minat orang buat nyobain Open Mic ternyata terpicu dengan Open Mic perdana kita, ditambah acara Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV yang bikin orang makin tertarik sama Stand Up. Komika-komika yang pecah di Open Mic perdana menjadi semangat buat nyobain terus dan mengusahakan Open Mic reguler. Nyari-nyari cafe lain, yang lumayan susah pada waktu itu soalnya pemilik cafe banyak yang skeptis terhadap Stand Up Comedy, jadi awal-awal kita cuma dapet cafe-cafe kecil model cafe fi lantai dua ruko dan semacamnya.
Keuntungan dari cafe kecil adalah ga musti keluar biaya banyak buat Open Mic disana, tinggal dateng, modal sosmed dikid, bisa ngundang orang buat nonton, paling cuma keluar duit buat bensin sama makan dan minum disitu. Kelemahan dari cafe kecil adalah, tempatnya ga bisa muat banyak, suka ada masalah teknis sama sound system, dan seringkali panggung buat komika malah ngga ada. Bukan hanya itu, sistem management internal cafe kecil biasanya juga bermasalah, sehingga seringkali mereka selalu ada masalah keuangan yang bikin mereka sendiri harus gulung tikar.
Awal-awal temen-temen di Malang harus pindah-pindah dari satu cafe kecil ke cafe kecil lainnya, soalnya satu demi satu cafe kecil itu pada bangkrut. Berkat nama Stand Up yang terus menjadi makin popular berkat Kompas TV pada waktu itu, dan juga komika-komika lokal yang semakin bagus kualitasnya, akhirnya kita bisa dapet cafe yang ukurannya lebih besar yang muat penonton lebih banyak. Dari cafe-cafe ruko yang kecil kita pindah ke cafe di lokasi strategis yang namanya "Five Point Six". Cafe ini tidak terlalu besar, paling bisa muat 50 penonton, tapi sound systemnya bagus, dan dindingnya kaca, jadi yang lewat-lewat di luar bisa ngeliat juga dan jadi penasaran sama aktivitas cafe di dalam. Ukuran cafe yang tidak terlalu besar membuat komika harus tampil dekat dengan penonton yang justru membuat atmosfir Stand Up disana menjadi intim dan hangat. Dengan adanya tempat manggung yang lebih baik, pelatihan komik jadi lebih baik dan penonton juga jadi lebih enjoy. Kualitas terjaga secara berkesinambungan.
Tapi selalu saja ada masalah, kali ini pemilik cafenya ingin mengganti konsep cafe dan dia juga membatasi waktu buat Open Mic soalnya dia ga suka ketika Open Mic selalu beresnya terlalu malem. Akhirnya kita hengkang dari Five Point Six setelah menemukan tempat baru yang lebih besar dan juga strategis. Five Point Six bangkrut tidak lama kemudian, satu hal yang pemiliknya tidak sadar adalah, komunitas Stand Up adalah penyumbang terbesar yang bikin orang dateng ke cafe itu. Tanpa Stand Up, orang jadi kehilangan alasan buat dateng kesana. Walaupun demikian, Komunitas Stand Up Malang akan selalu punya kenangan indah dengan Five Point Six, di tempat inilah Arie Kriting, Kukuh dan Abdur masih suka jadi MC setiap minggunya dan selalu gokil.
Tempat baru yang kita dapet setelah Five Point Six adalah cafe yang lebih tempat makan yang namanya "Warung Kelir." Tempatnya jauh lebih besar dari Five Point Six, bisa muat 150 penonton dengan meja dan kursi, sound system yang bisa memfasilitasi live band, dan ukuran panggung yang besar, lokasinya juga lumayan strategis. Tantangannya di Warung Kelir, sehubungan dengan ukurannya yang besar, seandainya ramai maka akan semakin gampang pecah, tapi sekalinya sepi, susah ngangkatnya. Bagaimanapun juga Warung Kelir menjadi tempat Open Mic yang baik sekali , dan permasalahan yang ada selalu menjadi tantangan yang positif buat anggota komunitas.
Warung Kelir akhirnya juga punya permasalahan internal. Mereka membuat acara nonton bareng film tentang PKI dan langsung jadi inceran polisi dan ormas. Gak lama kemudian mereka harus tutup.
Kita hengkang dari Warung Kelir lumayan buru-buru akhirnya nyari tempat baru lumayan buru-buru juga. Nyari seadanya, soalnya jangan sampai mengganggu jadwal rutin Open Mic yang udah jalan seminggu sekali. Akhirnya kita nemu tempat di cafe ruko lagi di lantai dua di cafe namanya Chut Nhea. Secara pribadi saya ngerasa ini kemunduran, dari tempat yang gede kok balik ke tempat kecil lagi, tapi sehubungan ga terlalu banyak pilihan dan waktu yang mendesak, plus pemiliknya juga baik, akhirnya ya udahlah jalanin aja.
Ternyata nama Stand Up Comedy yang semakin naik, dan juga banyak orang di kota Malang yang sudah melihat acara rutin kita, akhirnya menjadi solusi dari permasalahan kita. Salah satu temen SD saya ngontak saya suatu hari dan bilang bahwa suami dia adalah pengusaha, dan lagi ingin membuat konsep yang baru buat tempat usaha dia yang baru. Dia bilang dia tau nama saya dari dunia Stand Up, dan dia bilang siapa tahu bisa kerjasama sama suami dia. Beneran aja, saya ketemuan sama suami dia dan langsung diajak liat-liat ke tempat usaha dia yang semuanya adalah bisnis makanan buat ngira-ngira mana yang bisa dipakai buat tempat Stand Up. Ternyata ada satu tempat yang masih mentah, lahan yang baru dia beli, bangunan kuno tapi di lokasi yang sangat strategis. Berhubung saya bisa komunikasi langsung dengan dia, saya langsung menyampaikan ide tentang suatu tempat tidak hanya buat Open Mic, tapi untuk suatu club khusus untuk komedi seperti di luar negeri.
Negonya emang susah, soalnya saya ga bisa mastiin saya dia bahwa konsep kaya gitu pasti menguntungkan, tapi paling ngga ketika saya berusaha meyakinkan tempat dia ini pasti rame kalau ada Comedy Club sehingga gampang buat marketingnya, ide Comedy Club itu lumayan disetujui. Apalagi si pemilik tempat ini ingin punya konsep yang beda buat tempat barunya ini, dia inginnya tempat barunya ini bisa menjadi tidak hanya cafe atau tempat nongkrong, tapi juga tempat dimana komunitas-komunitas di kota Malang bisa kumpul dan melakukan proses kreatif. Jadi bukan hanya ngejar profit tapi juga ngejar produk kreatif seperti pentas seni, live music, forum dan seminar. Paling ga Stand Up Comedy bisa menjadi salah satunya lah.
Proses pembuatan tempatnya mulai dari merombak bangunan lama, memastikan bahwa tempat yang baru mempunyai akustik yang baik untuk show Comedy dan bentuk-bentuk live show lainnya. Sambil menunggu tempat baru ini jadi, saya minta temen-temen dari komunitas Stand Up Malang buat bikin nama yang pas buat markas baru kita. Dari belasan nama yang diusulkan, dipiliih satu nama dengan suara terbanyak, yaitu “Laughboratorium”.



Ketika tempatnya baru setengah jadi, kita sudah bikin show perdana di Laughboratorium, yang kemudian kita panggil Lab. Saya sempat khawatir penonton sepi soalnya tempat baru, tapi ternyata malam itu shownya membludak sampai kita harus nambah-nambah kursi. Yang membuat saya lebih senang lagi adalah bahwa konsep Comedy Clubnya sudah lumayan tercapai; di tempat kita nampil banyak terpajang poster-poster Stand up Show komunitas dan juga foto comic-comicnya. Ada spotlight yang mengarah ke panggung sehingga comic terlihat jelas ketika di panggung, dan ketika show lampu dimatikan sehingga perhatian penonton fokus ke panggung. Meriah tapi ekslusif.



Semakin ke sini Lab menjadi semakin terkenal semenjak namanya diangkat melalui show-show Stand Up Comedy sehingga makin banyak komunitas lain yang juga ingin pakai. Di Lab sendiri Stand Up Comedy hanya memakai satu hari dari seminggu untuk show reguler Open Mic, sisanya hari kosong yang bisa dipakai komunitas lain. Sebenarnya banyak acara lain yang bukan show seperti sharing comic, tapi akhirnya harus mengalah dengan komunitas lain soalnya sharing comic itungannya bukan event dan bukan show, sementara Lab diprioritaskan untuk dipakai untuk event atau show. Akhirnya sekarang Komunitas Stand Up harus merelakan berbagi Lab dengan komunitas-komunitas lainnya, tapi paling engga setting ruangannya sudah Stand Up dan atmosfir Stand Up cukup kental bagi semua orang yang masuk ke dalamnya. Paling engga juga, komunitas Stand Up Malang bisa membuat show reguler yang bermutu sesuai dengan konsep Open Mic dan show Stand Up yang baik.
Lab memangbelum sepenuhnya milik komunitas, tapi paling ngga kita ga usa keluar ongkos apapun buat pemakaian.
2. PERJUANGAN REFORMASI STRUKTURAL
Serius banget yak judul buat bagian ini? Tapi ya emang gitu, yang membuat komunitas bisa berjalan secara berkesinambungan ditentukan dari struktur organisasinya. Bisa fungsi dengan baik ga dia setaun penuh? Awal-awal seh emang kita belum terlalu serius, paling cuma ada Ketua, Wakil Ketua, Sekertaris, Bendahara. Standar banget. Tapi semakin kesini semakin banyak anggota, semakin banyak event, nama komunitas semakin dikenal dan komunitas menjadi semakin ambisius. Akhirnya kita sadar kita butuh sususan organisasi yang lebih baik.
Salah satu faktor determinan dalam menentukan kualitas komika-komika di dalam komunitas adalah kepelatihan. Banyak orang yang pengen join komunitas tapi antara gak lucu atau belum tau teknik Stand Up. Yang kaya gini ini kalo ga dibimbing dan dilepas gitu aja ke panggung ya sama aja kaya minta mereka buat bunuh diri. Akhirnya dibuatlah Seksi Pelatihan buat ngelatih komika-komika baru dan mempertahankan kualitas dari komika-komika lama. Acara rutin dari Seksi Kepelatihan di komunitas Stand Up Malang adalah megang sesi Sharing Comic, Kelas Comic dan evaluasi setelah Open Mic. Open Mic juga akhirnya jadi makin ramai peminat, antara yang nonton sama yang pengen naik. Akhirnya kita buat khusus juga Seksi Open Mic yang tugasnya ngedaftar orang-orang yang pengen naik Open Mic, memastikan Line Up yang bagus dan juga MC yang berkualitas setiap minggunya. Seksi Open Mic di Malang cukup penting karena setiap minggu yang naik bisa 10-13 orang. Kalo dia ga fungsi dengan baik, bisa-bisa Open Mic kita ngebom terus kebanyakan orang-orang baru. Terakhir yang paling penting adalah Seksi Management. Tugas seksi ini adalah untuk menjadi managemen komunitas dalam artian nyari event Corporate buat comic, jadi kontak person buat komunitas buat event Corporate dan juga ngurusin kontrak dengan pihak-pihak yang mau make komika dari komunitas. Kenapa tugas dia penting? Soalnya urusan duit sensitif, sudah banyak komunitas Stand Up di Indonesia yang retak gara-gara urusan duit yang dirasa tidak transparan dan tidak adil. Makanya yang namanya kontrak penting banget dan juga transparansi di depan komika. Potongan buat komunitas sah-sah aja sih, asalkan diomongin aja. Kalo di komunitas Malang, potongannya 10% buat komunitas buat semua event Corporate. Bahkan di komunitas Malang komika dibagi ke beberapa kelas, seperti kelas pemula, kelas berpengalaman dan kelas senior untuk event corporate. Fungsinya adalah supaya pihak Corporate bisa mendapat pilihan yang berbeda-beda, level harga disesuaikan dengan pengalaman komika nya.
Jadi ketika seksi Pelatihan dan Open Mic bersandingan dengan Seksi Management, kita bisa pastikan ada perkembangan komika yang bisa menjadi semakin siap buat event-event Corporate. Gak gampang seh untuk sampai proses ini, di komunitas Malang sendiri butuh waktu sekitar 4-5 tahun.
3. PERJUANGAN NYARI KOMIKA
Peminat Stand Up Comedy itu dimana-mana sama, banyak yang pengen nyoba, sedikit yang bisa bertahan.Tantangannya adalah, gimana caranya komunitas dapat bibit unggul komika?
Di sekitaran tahun 2011-2012, komika-komika di Malang agak tersebar secara sporadis, soalnya ada komunitas Stand Up Malang dan ada juga komunitas-komunitas Stand Up yang tersebar di kampus-kampus Malang seperti Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Islam Negeri (UIN). Yang menarik adalah waktu itu komika-komika kampus agak segan main ke komunitas Stand Up Malang soalnya dianggapnya atmosfirnya beda dan tantangannya lebih tinggi daripada Stand Up kampus. Akhirnya dari beberapa anak kampus yang aktif di komunitas Stand Up Malang, mereka yang nego adik-adik kelasnya supaya sering main ke tempat Open Mic komunitas, sama komunitas mereka juga diladenin dengan baik, dan sebisa mungkin komunitas ngasih mereka kesempatan buat manggung dan dikasi masukan biar bisa jadi komika yang lebih baik.
Hasilnya tidak terlalu buruk. Butuh waktu sekitar 1-2 tahun untuk benar-benar bisa mengintegrasikan komika-komika kampus menjadi bagian dari komunitas. Sekarang semua komika kampus mainnya pasti ke komunitas, walaupun sisi buruknya adalah komunitas Stand Up masing-masing kampus menjadi gak eksis dan cenderung menghilang.
4. PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KUALITAS
Semakin banyak peminat Stand Up Comedy, akhirnya semakin banyak juga orang yang mencari gampangannya buat Stand Up. Bikin materi yang mengada-ada, yang tidak berdasarkan keresahan hanya biar dapet tawa. Kita bilang ini "trying to be funny", yang mana secara teknik Stand Up itu tidak benar. Stand Up itu harus terlihat natural, effortless tanpa tawa yang dipaksakan.
Sebenernya pemahaman Stand Up di komunitas Malang hitungannya masih konservatif sih. Kita masih percaya Stand Up itu komedi cerdas sehingga punch-punch dan story yang kita kasih sebisa mungkin bisa bikin penonton mikir. Ciri khas dari komika-komika Malang seperti Arie Kriting dan Abdur Arsyad, dan Dani Adita adalah story telling dengan punch yang nendang tapi pesan yang kental. Pembuatan materi seperti itu tidak gampang, butuh kemampuan observasi yang tinggi dan juga kemampuan menulis yang detail.
Sayangnya, kapasitas ini sepertinya tidak terlihat oleh TV. Komika-komika yang naik ke show Stand Up di TV masih banyak yang materinya murahan dan receh tapi yang dijual lebih ke arah penampilan. Apalagi SUCA Indosiar, menurut saya itu show ancur banget. Kalo ngeliat itu selalu sambil meringis pait pengen lempar remot ke TV. Sayangnya TV ngga bisa ngeliat kualitas materi, yang dilihat hanya popularitas makanya banyak komika-komika ga mutu jadi populer dan akhirnya ini yang menjadi tolak ukur buat yang pada nonton acara itu. Orang-orang jadi pada mikir Stand Up itu gampang dan orang-orang kaya gini yang dateng ke acara Open Mic kita. Bukan hanya itu, tapi komika yang ngejar lucu receh itu juga biasanya bukan komika yang kontribusinya besar di komunitas, terlihat dari materinya yang mentah. Sehingga ketika mereka menjadi populer, sumbangsihnya ke komunitas juga minimalis.
Bukan hanya itu, tapi sensor TV juga ngancurin materi komika. Namanya juga materi harus jujur berdasarkan keresahan tapi kalau disesuaikan dengan sensor TV, maka semua unsur keresahannya ya hilang. Adanya justru materi yang dibuat-buat yang aman buat nampil di TV. Makanya materi-materi yang ngabsurd itu justru masuk, soalnya pasti aman dari sensor. Tapi yang ngomongin politik, ras dan agama, malah susah masuk. Ini bukti bahwa TV sendiri yang menghancurkan unsur kualitas materi dari segi kejujuran. Untungnya hampir semua komika tau, bahwa sebagus-bagusnya Stand Up di TV, masih lebih bagus Stand Up off-air. Sayangnya cuma sedikit penonton yang tau itu. Kita lumayan susah seh buat ngelawan TV, tapi satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah dengan mempromosikan off-air show, yang aman dari sensor dan kita bisa ngomong semau kita. Bagaimanapun juga, kebebasan berbicara adalah bagian penting dari Stand Up Comedy, dan kalau penonton tidak ada yang tersinggung, ya gak ada masalah.
Comentários